Ironi sebuah Toko Kelontong
Beberapa minggu yang lalu gue pernah diajak ngobrol sama seorang bapak yang udah separuh baya. Beliau menceritakan dengan antusias tentang tanahnya yang tersebar di berbagai daerah, sambil berharap sang bapak mau mewariskan beberapa hektar tanahnya untuk gue *Bletak, pentung tyo*.
Si Bapak di tengah-tengah pembicaraan menanyakan kepada gue, kira-kira usaha apa yang enak untuk saat ini, tentu saja insting
Naas, saran gue ditolak, si bapak bilang kalo toko kelontong akan kalah sama mini market yang berkembang bak sebuah jamur di musim hujan.
Gue pun berpikir, ada betulnya juga yang dikatakan sama si bapak itu, toko kelontong sudah diganti dengan mini market-mini market yang hampir setiap jengkalnya ada di sekitar kita.
Ada dua nama besar mini market berbasis franchise yang berkembang di Indonesia, Alfamart, dan Indomaret. Dua retail ini selalu ada sejauh mana memandang, bahkan mampu menjangkau setiap pelosok desa, yang lebih sadisnya lagi, ketatnya persaingan diantara mereka, membuat Alfamart dan Indomaret, tidak segan-segan mendirikan tokonya saling bersebelahan. Setau gue ini udah termasuk kedalam persaingan yang tidak sehat
Tapi terlepas dari itu semua, gue ngerasa toko kelontong yang di kelola olah individu, jauh-jauh dan jauh lebih menguntungkan. Pertama, toko kelontong tidak dibuat dengan system kapatalis.
Gue juga melihat toko kelontong, sebagai bentuk nyata tempo seliro, dan gotong royong yang menjadi cirri khas bangsa ini. Karena, toko kelontong yang biasa dibangun dekat pemukiman yang semuannya saling mengenal, gak heran di toko kelontong semua saling menyapa.
Di Toko kelontong selain transaksi bisnis, juga menjadi tempat interaksi sosial, buktinya, gak jarang kita melihat ibu-ibu yang berlama-lama di warung untuk mengobrol menjurus bergosip, gak usah protes, toh ngegosip, termasuk interaksi sosial.
Coba bandingkan dengan mini market itu, kita hanya di buatnya menjadi orang yang super konsumtif, datang, ambil barang, bayar, pulang. Udah gitu doang. Gak ada tuh senyum sapa nan ramah. Kalau pun terjadi, mereka tersenyum sambil bilang “ gak ambil telornya sekalian bu ? “, kapitalis abis.
Gotong royong, juga hadir di toko kelontong, karena sudah saling mengenal, gak jarang jika kita ingin beli barang, dan gak punya uang, dengan mudah kita berhutang, ya semuanya lancar kalo loe ambil dan langsung bayar. Jangan, jadi orang yang hobi ngutang, gak hobi bayar, doong!!!.
Di Mini market mana bisa yang kayak gitu, stempel harga yang sudah melekat seolah-olah mereka ingin bilang “ Loe kalo mau, bayar, gak, taro “.
Itulah kekayaan bangsa kita, banyak yang bisa dijadikan tempat yang menghangatkan sesuasana dan memperat silahturahmi. Hidup Toko Kelontong….
Ah sudahlah jadi merancau begini
Salam
Tyo Sudiro
Label: sosial, toko kelontong